Prof Iwan Dwiprahasto: Menempuh Jalan Sepi, Berpulang dalam Kesunyian

Prof. Iwan telah berpulang, kembali menemui Sang Pencipta. Selamat jalan Prof. Iwan. Hati-hati di jalang nggih. Sampai jumpa nanti, suatu ketika. Di sana, di tempat yang mungkin jauh, mungkin dekat, saya akan duduk bersila, menyimak penuh gairah segala pesona yang Prof. Iwan tebar lewat kata-kata yang cerdas dan tak henti menghibur. Saya akan nikmati.

Pertemuan pertama saya dengan Prof Iwan di tahun 2014 begitu berkesan. Waktu itu, Prof. Iwan membuka Kongres Maritim pertama yang diadakan UGM dan berbicara di depan ratusan orang, terutama TNI Angkatan Laut. Saya masih ingat ketika Prof Iwan bercerita sebagai seorang putra tentara. Banyak cerita yang mengalir deras. Di situ saya langsung terkesima dengan kemampuan public speaking Prof Iwan yang mengagumkan. Saya jadi percaya dengan ucapan salah satu kolega kami, “aku paling seneng kalau Prof Iwan yang bicara. Bikin adem”.

Sebagai seorang dokter, Prof. Iwan tidak praktik langsung mengobati pasien. Beliau adalah ilmuwan. Bagi orang kebanyakan, seorang dokter yang tidak praktik sebagai dokter adalah para penempuh jalan sunyi. Jalan berbeda. Di jalan akademik yang sunyi itulah Prof. Iwan berjalan dan memenuhi dharma bhaktinya. Lebih sunyi lagi karena beliau pernah menjalankan tugas sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan di UGM. Sebuah jalan sunyi yang penuh pertanyaan, tuntutan dan bahkan protes. Mahasiswa UGM yang vokal, dan memang seharusnya begitu, kadang membuat kesunyian itu hiruk pikuk tapi Prof. Iwan kadang tetap sendiri. Sendiri dalam memutuskan hal-hal kritis yang tidak mudah diselesaikan.

Saya masih ingat ketika Prof. Iwan menjadi titik pusat gravitasi ketika demonstrasi besar terjadi di UGM tahun 2016 silam. Ribuan mahasiswa mengepung Balirung dan Prof. Iwan dengan tenang menghadapi mereka. Tentu saja beliau tidak sendiri tetapi sebagai wakil rektor yang menangani kemahasiswaan, Prof Iwan ada di barisan terdepan. Di situlah negosiasi terjadi. Dari jarak yang tidak begitu jauh saya saksikan beliau menarik ulur dialog dengan perwakilan mahasiswa dan melahirkan berbagai kosakata diplomatis. Tidak mudah. Dan itu adalah jalan yang sunyi. Hanya para pemberani yang mau melakukannya.

Interaksi saya yang agak dekat dengan Prof. Iwan adalah ketika dua orang Peraih Nobel datang ke UGM untuk memberikan kuliah umum. Prof. Iwan dengan penuh inisiatif memimpin panitia di level rektorat dan saya bersama teman-teman bergerak di lapangan. Dalam berbagai rapat, saya selalu menyimak kebijakan dan langkah taktis seorang Iwan Dwiprahasto. Kemampuan beliau menarik perhatian orang dengan sikap dan tutur kata yang charming membuat banyak hal terselesaikan dengan cepat.

Bagi UGM, acara itu sangat penting maka persiapannya begitu serius. Karena serius, berbagai ketegangan pun terjadi, termasuk hingga di Hari H. Seorang Peraih Nobel usia 80an tahun memberi kuliah di sebuah panggung yang cukup kecil di GSP UGM yang dipenuhi ribuan orang. Yang menegangkan ketika itu adalah Sang Ilmuwan beberapa kali nyaris melangkah ke luar panggung, entah karena beliau memang tidak memperhatikan langkahnya, atau memang karena kemampuan koordinasi gerakannya yang sudah menurun. Di saat ketegangan itu terjadi, saya yang berlari ke depan dan mencoba mengingatkan Sang Ilmuwan agar berhati-hati dan tidak jatuh. Hadirin tertawa dan akhirnya Prof. Iwan yang menjadikan itu begitu bermakna. “Panitia yang bekerja keras, dan Pak Andi yang lari menyelamatkan Sang Ilmuwan itu adalah keindahan bagi saya” begitu beliau menulis di Grup WA untuk menyemangati dan mengapresiasi kami. Terima kasih Prof. Iwan.

Prof. Iwan mudah memuji dan itu membesarkan semangat. Ketika Prof. Pratikno, yang ketika itu adalah Rektor UGM, dipanggil Presiden Jokowi untuk menajadi Mensesneg, UGM harus menentukan siapa yang akan menjadi rektor. Prof. Iwan yang merupakan salah satu wakil rektor ketika itu, saya dengar, adalah salah satu kandidat kuat. Tidak mengejutkan, setidaknya beliau adalah ‘WR Satu’ jika istilahnya disamakan dengan istilah yang dipakai universitas-universitas lain di Indonesia. Kedua, beliau, menurut banyak orang, memang layak. Ternyata sejarah UGM berkata lain. Untuk pertama kalinya UGM, dipimpin seorang perempuan, Prof. Dwikorita Karnawati.

Malam harinya ketika saya bertemu Prof. Iwan untuk menemui seorang tamu internasional, beliau bercerita. “Bu Rita seorang yang brillian. Masih muda dan enerjik. Kita perlu pemimpin seperti beliau” demikian kurang lebih kalimat yang terlontar dari Prof. Iwan. Sebagai staf yang berada jauh di bawah beliau secara hirarki, saya hanya mengangguk takzim, tidak banyak berkomentar. Saya tidak tahu apa yang beliau rasakan tapi apa yang saya dengar sangat melegakan. Di situ saya punya keyakinan kuat bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang yang tindak tanduknya melampaui ego pribadi dan kepentingannya sendiri.

Prof. Iwan adalah seorang presenter yang sangat bagus. Beliau cerdas menggabungkan intelektualitas dengan humor dalam penyajian informasi. Suatu hari saya menyaksikan beliau presentasi untuk visitasi akreditasi institusi. Saya melihat beberapa lembar tayang yang sangat familiar namun di tangan beliau, lembar tayang itu bermakna lebih dalam, lebih filosofis. Jadi lebih berwibawa karena dibawakan dengan tenang dan perbawa intelektualitas yang tinggi. Ketika saya puji, beliau dengan humble berkata “ya kan karena slidenya Pak Andi juga, to”. Saya bahkan tidak tahu kalau beliau tahu. Di situ hanya ada beberapa slide saya dari puluhan yang beliau tampilkan. Tidak signifikan tapi seorang Prof. Iwan merasa perlu mengatakan itu. Beliau memberi sentuhan-sentuhan kecil kemanusiaan kepada siapa saja yang ditemui.

Kelucuan selalu menjadi senjata dalam presentasi beliau. Cerita favoritnya adalah soal temannya, orang Indonesia, saat sekolah di luar negeri. Konon temannya itu menggunakan istilah “kom bak, kam bek” untuk mengistilahkan fotocopy bolak balik. Lelucon sederhana ini selalu berhasil mencairkan suasana. Saat membahas pembayaran SPP mahasiswa yang telat, Prof. Iwan juga punya cara yang lucu. “Saya tanya, telat berapa lama, dia bilang dua tahun tidak bayar. Walah, telat kok dua tahun Mas. Temenku, telat sembilan bulan aja, udah lahir” kata beliau diiringi tawa hadirin. Ketika bicara tentang dosen juga demikian. Penuh satir yang menghibur. “Saya bilang, dosen kaya kita ini kan baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung. Eh, teman saya, dosen, malah protes ‘rajin menabung? Mau nabung apa, gajinya aja gak sisa’ katanya” dan disambut gelak tawa hadirin.

Ada terlalu banyak cerita menarik tentang Prof. Iwan. Waktu memang hanya sekejap mata dan kini Prof. Iwan telah kembali. Hidup dalam kesunyian karena pilihan karir dan idealisme, pulang juga menempuh jalan sunyi. Beliau telah menjadi pengingat paling nyata betapa Covid-19 adalah perihal yang serius. Beliau berpulang dengan membawa Covid-19 pada tubuhnya. Beliau berpulang ketika dunia sedang lengang. Ketika pertemuan fisik orang-orang dibatasi dan bahkan ditiadakan. Prof. Iwan menuju liang lahat dalam kesunyian tanpa banyak kerabat yang mengantar. Tidak ada keramaian dalam pelepasan jenazah di Balairung UGM yang bersejarah itu. Sepi dari karangan bunga, yang kalau dibiarkan pastilah deretannya panjang tak terkira. Prof. Iwan berpulang dalam kesunyian.

Sunyi adalah cara terbaik untuk berintrospeksi. Prof. Iwan mengajak kita semua untuk menengok ke dalam. Sepi adalah saat terbaik untuk berdoa. Prof. Iwan mengajak kita semua berdoa, tidak saja untuk beliau tetapi untuk peradaban yang sedang dirundung malang. Tiadanya karangan bunga adalah pertanda dari beliau bahwa sungkawa tak harus kasat mata berwujud materi dunia. Bela sungkawa terbaik adalah doa dan karangan bunga bisa kita ubah wujudnya jadi masker dan APD bagi para petugas kesehatan kita yang sedang berjuang. Bahkan di saat ajal tiba, Prof. Iwan tetap menjadi guru kita. Beliau mengingatkan ajaran-ajaran kebaikan dalam perjalanannya yang sunyi dan sepi untuk kembali ke keabadian. Selamat jalan Prof. Iwan. Sampai bertemu lagi.

I Made Andi Arsana
Seorang pengagum dari kejauhan

Sumber

Please Login to Comment.